Oleh Syahruddin El Fikri
Jurnalis dan warga NU
Kegiatan atau baca kitab kuning merupakan hal biasa dan rutin di pondok pesantren, khususnya pesantren salaf (tradisional). Dan kitab yang diajarkan beragam, baik tentang akidah, akhlaq, tasawuf, fikih, sejarah, tafsir, maupun lainnya.
Di antara kitab kuning yang biasanya diajarkan di pondok pesantren tersebut adalah Safinatun Najah, Kasyifatus Saja, Matan Taqrib atau Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Kifayatul Akhyar, Maraqil Ubudiyah, Nuruzh Zhalam, Irsyadul Ibad, Riyadhus Shalihin, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Minhajul Abidin, Sirrul Asrar, Ihya Ulumuddin, Ta’lim Al Muta’allim, Usfuriyah, Tanqihul Qaul, Fathur Rabbani, Arbain Nawawi, Bulughul Maram, Fathul Bari, Lu’lu Wal Marjan, Al Kaba’ir, Uqudul Lujain, Hasyiyah Bajuri, Hasyiyah Bujairimi, dan lain sebagainya.
Kitab lainnya juga yang diajarkan terkait ilmu alat seperti nahwu Sharaf, seperti Al Imriti, Matan Jurumiyah, Syarah Alfiyah Ibnu Malik, Al Amtsilah at-Tashrifiyah, Ilmu Balaghah, Ilmu Mantiq, dan lainnya.
Untuk meningkatkan kemampuan santri, kitab itu dikaji dengan metode sorogan (talaqqi), bandongan, dan lainnya. Bahkan kemudian santri dianjurkan untuk menyetorkan bacaan atau kajiannya kepada Ustadz atau Kyai yang mengajarkan kitab-kitab tersebut secara langsung. Hal ini dimaksudkan agar santri memiliki kemampuan mumpuni dalam membaca kitab kuning selepas dirinya kembali ke masyarakat.
Dalam perkembangannya, para santri yang sudah mahir atau cekatan dalam membaca kitab kuning, mereka akan mengajarkan pengetahuan dari kitab-kitab yang telah dipelajarinya sewaktu di pesantren, kepada masyarakat tempat dia berkhidmat.
Belakangan ini, banyak lembaga maupun partai politik yang menyelenggarakan lomba-lomba membaca kitab kuning dengan istilah Musabaqoh Qiroatul Kutub (Lomba Membaca Kitab Kuning). Di antaranya melalui penyelenggaraan MTQ, baik tingkat lokal (kabupaten/kota), tingkat provinsi, maupun nasional. Ini biasanya dilakukan oleh Kementerian Agama yang bekerja sama dengan lembaga terkait seperti pondok pesantren atau lainnya.
Namun ada pula partai politik yang turut serta meramaikan kegiatan ini dengan acara serupa, lomba membaca kitab kuning. Kegiatan yang belakangan ini ramai adalah yang diselenggarakan oleh partai politik. Apa pasalnya? Tujuan utamanya adalah merekrut para peserta untuk dijadikan kader parpol dan menjadi ujung tombak di masyarakat sehingga diharapkan mampu mendulang suara ketika pemilu dilaksanakan.
Lomba itu tentu saja sangat positif, karena memiliki manfaat besar bagi kalangan pesantren dan juga para santri yang ikut berpartisipasi pada lomba itu. Sayangnya, ya, sayangnya, santri yang ikut lomba itu kemudian dididik dan dikader sedemikian rupa untuk menjadi kader militan dari partai politik tersebut.
Kok disayangkan? Karena mereka nantinya akan mengajak pemilih untuk turut serta kepada parpol tempat dia dikader itu. Dan selanjutnya, kegiatan yang sudah biasa berlangsung di masyarakat akan berubah haluan menjadi acara parpol.
Mereka yang awalnya fokus untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, dan selanjutnya mereka akan memiliki ‘pamrih’ demi kepentingan politik. Dan yang lebih menyedihkan, afiliasi mereka yang dulunya sebagai warga Nahdliyyin (NU) akhirnya berubah menjadi pendukung parpol tertentu. Ujung-ujungnya, NU dilecehkan, dilupakan bahkan dimusuhi.
Kok bisa? Ya karena mereka merasa tidak mendapatkan kontribusi dari NU. Mereka tidak diupah oleh NU, dan mereka diupah oleh parpol dengan istilah upah sebagai binroh (pembina rohani) masyarakat. Akhirnya, pesantren yang berafiliasi pada NU tempat dia mendapatkan ilmu, hanya dianggap sebagai ‘sekolah’ saja. Dan NU dilupakan dan diabaikan bahkan disingkirkan.
Apakah pengurus NU tidak menyadari hal ini? Sangat dan amat sangat sadar. Tetapi mereka juga tidak bisa berbuat banyak, karena semuanya kembali para pribadi masing-masing.
Jika sudah demikian, maka kembali lagi pada diri yang bersangkutan dan apa yang mesti dilakukan oleh pengurus NU. Apakah sebegitu berbahayanya bagi NU hal itu?
Jawabannya bisa sangat berbahaya, bisa pula tidak. Tidak berbahaya bila si peserta lomba sadar diri bahwa lomba cukup sekadar lomba dan bukan untuk menjadi kader partai politik. Dan akan sangat berbahaya, bila ujung-ujungnya si peserta lomba kemudian merasakan manfaat besar dari lomba dan bersedia menjadi kader parpol yang selanjutnya ‘akan memusuhi’ NU.
Kok ‘memusuhi’ NU? Ya, yang bersangkutan tanpa sadar atau bahkan dengan sadar diri, melecehkan NU, merendahkan NU, bahkan memusuhi NU. Kenapa demikian, kan NU tidak pernah terlibat pada pendidikan santri sejak awal? Ya, NU tidak ikut terlibat pada pendidikan santri. Hanya saja, pesantren salaf, pada umumnya memiliki afiliasi kepada Nahdlatul Ulama, jam’iyah yang didirikan oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Sehingga disadari atau tidak, pesantren itu arahnya sudah jelas. Bahkan pendidikan ke-NU-an juga biasanya diajarkan di pesantren tersebut sebagai wujud bukti afiliasi dengan NU.
Lalu di mana masalahnya? Pasca lomba baca kitab kuning, peserta atau pemenang akan dididik, dijadikan kader. Selanjutnya berkontribusi untuk partai politik tempat dia mengikuti kegiatan lomba baca kitab kuning. Parpol akan terus meneruskan memberikan dukungan (supporting) kepada yang bersangkutan, agar dia punya keterikatan khusus kepada parpol tersebut.
Setelah menjadi kader militan, maka NU yang tidak memberikan kontribusi secara langsung kepada yang bersangkutan akan ditinggalkan, dan akhirnya dia berani memusuhi NU, menjelek-jelekkan NU, dan merendahkan NU.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan selama ini, itulah yang penulis lihat dan saksikan. NU ditinggalkan dan tidak dipedulikan. Kondisi ini menjadi nasihat dan warning bagi NU dan Nahdliyyin. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka dikemudian hari semakin banyak yang akan memusuhi NU, mendelegitimasi kepercayaan warga NU terhadap jam’iyah (kelembagaan), hingga akhirnya beranggapan bahwa NU tidak memberi manfaat bagi dirinya.
Peringatan ini harus diantisipasi oleh NU dan Nahdliyyin. Jangan biarkan kegiatan-kegiatan yang ujungnya melemahkan dan merendahkan NU terus bermunculan. Karena cepat atau lambat, jika tidak diantisipasi, pelemahan NU akan terus terjadi.
Pendidikan kader penggerak (PKP) NU harus dimaksimalkan dan dioptimalkan. Lakukan kegiatan serupa, bekali santri dengan pendidikan akhlak mulia dan memahami sopan santun serta adab kepada yang lebih tua, kepada orang tua, kepada guru, tetangga, kepada Jam’iyyah dan siapapun.
Pertanyaannya kemudian, apakah para santri atau alumni pesantren itu akan tetap ikut kegiatan lomba baca kitab kuning yang diselenggarakan oleh kelompok tertentu itu? Semoga bisa bawa diri, bawa almamater, dan nama baik pesantren serta jam’iyah NU.
Wallahu A’lam